Kajian Tafsir Surat Al-Baqarah 42 - 44



وَلاَ تَلْبِسُواْ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُواْ الْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ , وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِينَ 

 Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang batil dan ja-nganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui. (QS. 2:42) Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’. (QS. 2:43)

Melalui firman-Nya ini Allah Ta’ala melarang orang-orang Yahudi dari kesengajaan mereka mencampuradukkan antara kebenaran dengan kebatilan, serta tindakan mereka menyembunyikan kebenaran dan menampakkan kebatilan. Dia berfirman, Î وَلاَ تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ Ï “Dan janganlah kamu mencampuradukkan antara kebenaran dengan kebatilan. Dan janganlah kamu menyembunyikan kebenaran itu sedang kamu mengetahui.”
Dengan demikian Dia melarang mereka dari dua hal secara bersamaan serta memerintahkan kepada mereka untuk memperlihatkan dan menyatakan kebenaran. Oleh karena itu, dari Ibnu Abbas, adh-Dhahhak mengenai ayat ini, ia mengatakan, artinya janganlah kalian mencampuradukkan yang hak dengan yang batil dan kebenaran dengan kebohongan.
Sementara Qatadah mengatakan, Î وَلاَ تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ Ï “Dan janganlah kamu mencampuradukkan antara kebenaran dengan kebatilan.” Artinya janganlah kalian mencampuradukkan antara ajaran Yahudi dan Nasrani dengan Islam sedang kalian mengetahui bahwa agama Allah adalah Islam.
Sedangkan mengenai firman-Nya, Î وَتَكْتُمُوا الْحَـقَّ وَأَنتُـمْ تَعْلَمُـونَ Ï “Dan janganlah kamu menyembunyikan kebenaran itu sedang kamu mengetahui.” Muhammad bin Ishak meriwayatkan dari Muhammad bin Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan: “Artinya, janganlah kalian menyembunyikan pengetahuan yang kalian miliki mengenai kebenaran Rasul-Ku dan juga apa yang dibawanya, sedangkan kalian men-dapatkannya tertulis dalam kitab-kitab yang berada di tangan kalian.” Boleh juga ayat tersebut berarti, sedangkan kalian mengetahui bahwa dalam tindakan penyembunyian pengetahuan tersebut mengandung bahaya yang sangat besar bagi manusia, yaitu berupa penyesatan mereka dari petunjuk yang dapat men-jerumuskan mereka ke neraka jika mereka benar-benar mengikuti kebatilan yang kalian perlihatkan kepada mereka, yang dicampuradukkan dengan semacam kebenaran dengan tujuan agar kalian dapat dengan mudah menyebarluaskannya ke tengah-tengah mereka. Al-Kitman artinya penyembunyian, lawan penjelasan dan keterangan.
Firman-Nya, Î وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَ اتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ Ï “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku.”
Mengenai firman Allah Ta’ala kepada ahlul kitab, Î وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ Ï “Dan dirikanlah shalat,”Muqatil mengatakan, artinya, Allah Ta’ala memerintahkan mereka untuk mengerjakan shalat bersama Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dan firman-Nya, Î وَءَ اتُوا الزَّكَاةَ Ï “Dan tunaikanlah zakat,” artinya, Allah memerintahkan mereka untuk mengerluarkan zakat, yaitu dengan menyerahkannya kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sedang firman-Nya, Î وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ Ï “Dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’” artinya, Allah menyuruh mereka untuk ruku’ bersama orang-orang yang ruku’ dari umat Muhammad, maksudnya Dia berfirman, jadilah bersama dan bagian dari mereka.
Mengenai firman-Nya, Î وَءَ اتُوا الزَّكَـاةَ Ï “Tunaikanlah zakat,” Mubarak bin Fudhalah meriwayatkan dari Hasan al-Bashri, katanya: “Pembayaran zakat itu merupakan kewajiban, yang mana amal ibadah tidak akan manfaat kecuali dengan menunaikannya dan dengan mengerjakan shalat.”
Sedangkan firman-Nya, Î وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ Ï “Dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.”Artinya, jadilah kalian bersama orang-orang mukmin dalam berbuat yang terbaik, yang di antara amal kebaikan yang paling khusus dan sem-purna itu adalah shalat. Banyak ulama yang menjadikan ayat ini sebagai dalil yang menunjukkan kewajiban shalat berjama’ah. Dan insya Allah, kami akan menguraikannya dalam Kitab al-Ahkam.
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat). Maka tidakkah kamu berpikir (QS. 2:44)
Allah Ta’ala bertanya, “Wahai sekalian ahlul kitab, apakah kalian pantas menyuruh manusia berbuat berbagai kebajikan, sedang kalian melupakan diri kalian sendiri, di mana kalian tidak melakukan apa yang kalian perintahkan itu, padahal kalian membaca al-Kitab dan mengetahui kandungannya yang berisi ancaman terhadap orang yang mengabaikan perintah Allah? Apakah kalian tidak berfikir terhadap apa yang kalian lakukan untuk diri kalian sendiri itu, sehingga kalian terjaga dari tidur kalian dan terbuka mata kalian dari kebutaan?.”
Abu Darda’ radhiallahu ‘anhu mengatakan, seseorang tidak memiliki pemahaman yang mendalam sehingga ia mencela orang lain karena Allah, kemudian ia mengintropeksi dirinya sendiri, akhirnya ia sangat mencela dirinya sendiri. Yang dimaksud, bukan celaan terhadap usaha mereka menyuruh berbuat kebajikan, namun yang wajib dan lebih patut baginya adalah mengerjakan kebajikan bersama orang-orang yang diperintahkannya dan tidak menyelisihi mereka. Sebagaimana kata Nabi Syu’aib ‘alaihissalam:
Ïوَ مَآأُرِيـدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَـى مَآأَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلاَّ اْلإِصْـلاَحَ مَااسْتَطَعْتُ وَ مَاتَوْفِيقِي إِلاَّ بِاللهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيـبُ Î
“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya aku kembali.” (QS. Huud: 88)
Dengan demikian, amar ma’ruf (menyuruh berbuat baik) dan pengamalannya merupakan suatu kewajiban yang tidak gugur salah satu dari keduanya dengan meninggalkan yang lainnya. Demikian menurut pendapat yang paling shahih dari para ulama salaf maupun khalaf.
Yang benar, orang alim hendaknya menyuruh berbuat baik meskipun ia tidak mengamalkannya atau mencegah kemungkaran meskipun ia sendiri mengerjakannya.
Imam Malik meriwayatkan dari Rabi’ah katanya, aku pernah mendengar Sa’id bin Jubair mengatakan, “Jika seseorang tidak menyuruh yang ma’ruf dan tidak mencegah kemungkaran sampai pada dirinya tidak terdapat sesuatu (dosa/cela) apapun, maka tidak akan ada seorang pun yang menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.” Malik berkata, “Benar demikian, tetapi siapakah orang yang pada dirinya tidak terdapat sesuatu apapun?” Penulis (Ibnu Katsir) katakan, “Namun seorang alim dengan keadaan demikian itu tercela karena meninggalkan ketaatan dan mengerjakan kemaksiatan sedang ia mengetahui, dan tindakannya menyalahi perintah dan larangan itu berdasarkan pada kesadaran dan pengetahuannya akan hal tersebut. Sesungguhnya orang yang mengetahui tidak sama dengan orang yang tidak mengetahui. Oleh karena itu, ada beberapa hadits yang memaparkan ancaman keras terhadap hal itu.”
Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Anas bin Malik, katanya aku pernah mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِى عَلَى أُنَاسٍ تُقْرَضُ شِفَاهُمْ وَأَلْسِنَتُهُمْ بِمَقَارِيْضَ مِنْ نَارٍ، قُلْتُ: مَنْ هَؤُلاَءِ يَا جِبْرِيْلُ؟ قَالَ: هَؤُلاَءِ خُطَبَاءُ أُمَّتِكَ الَّذِيْنَ يَأْمُرُوْنَ النَّاسِ بِالْبِرِّ وَيَنْسَوْنَ أَنْفُسَهُمْ
“Pada malam aku dinaikkan ke langit (mi’raj), aku melewati beberapa orang yang bibir dan lidahnya dipotong dengan gunting yang terbuat dari api. Ke-mudian aku tanyakan: ‘Siapakah mereka itu, hai Jibril?’ Jibril pun menjawab, ‘Mereka itu adalah para pemberi ceramah dari umatmu yang menyuruh berbuat baik kepada manusia tetapi melupakan dirinya sendiri’”. (HR. Ibnu Majah, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu Mardawaih)
Imam Ahmad meriwayatkan, pernah dikatakan kepada Usamah, tidakkah engkau memberitahu Utsman? Maka Usamah berkata, sesungguhnya kalian mengetahui bahwa aku tidak memberitahunya melainkan aku akan menyampaikan kepada kalian bahwa aku pasti akan memberitahukan kepadanya apa yang ada antara diriku dengan dirinya tanpa membuka suatu perkara yang aku sangat berharap dapat menjadi orang yang pertama kali membukanya. Demi Allah aku tidak akan mengatakan kepada seseorang, “Sesungguhnya engkau ini sebaik-baik manusia,” meskipun di hadapanku itu seorang penguasa, setelah aku mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. Maka orang-orang pun bertanya, “Apa yang engkau dengar dari sabdanya itu?” Usamah menjawab, beliau telah bersabda:
يُجَاءَ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ بِهِ أَقْتَابُهُ، فَيَدُوْرُ بِهَا فِي النَّارِ كَمَا يَدُوْرُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ، فَيطِيْفُ بِهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُوْلُوْنَ: يَافُلاَنَ مَا أَصَابَكَ، أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَانَا عَنِ الْمُنْكَرِ؟ فَيَقُوْلَ كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَلاَ آتِيْهِ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيْهِ.
“Pada hari kiamat kelak akan didatangkan seseorang, lalu dicampakkan ke dalam neraka. Kemudian usus-ususnya terburai, dan ia berputar mengitari usus-ususnya itu, seperti keledai mengitari sekitar penggilingannya. Maka para peng-huni neraka pun berputar mengelilinginya seraya berkata: ‘Hai fulan, apa yang menimpa dirimu, bukankah dahulu engkau suka menyuruh kami berbuat ke-baikan dan mencegah kami berbuat kemungkaran’? Ia pun menjawab: ‘Dahulu aku menyuruh kalian berbuat baik, tetapi aku tidak mengerjakannya. Dan melarang kalian berbuat kemungkaran, tetapi aku sendiri mengerjakannya.’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah di-datangi oleh seseorang seraya berujar, “Hai Ibnu Abbas, Sungguh aku ingin menyuruh berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran.” Tanya Ibnu Abbas: “Apakah engkau telah menyampaikannya?” Ia menjawab, “Aku baru ingin melakukannya.” Kemudian Ibnu Abbas mengatakan, “Jika engkau tidak khawatir akan terbongkar aib dirimu dengan tiga ayat di dalam al-Qur’an, maka kerjakanlah.” Ia pun bertanya: “Apa saja ketiga ayat tersebut?”. Ibnu Abbas menjawab, firman Allah Ta’ala: Î أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ Ï “Mengapa kamu menyuruh orang lain mengerjakan kebajikan sedang kamu melupakan diri (kebawajian) kalian sendiri.” “Apakah engkau telah mengerjakan hal itu dengan sempurna?” tanya Ibnu Abbas orang itu menjawab, “Belum.” Kata Ibnu Abbas: “Lalu ayat yang kedua, firman Allah Ta’ala:
Î لِمَ تَقُولُونَ مَالاَتَفْعَلُونَ ؟ كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللهِ أَن تَقُولُوا مَالاَتَفْعَلُونَ Ï “Mengapa kamu mengata-kan apa yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” Tanya Ibnu Abbas: “Apakah engkau sudah mengerjakan hal itu dengan sempurna?” sahutnya. “Belum.” Kata Ibnu Abbas. Lalu ayat ketiganya, yaitu ucapan seorang hamba shalih, Syu’aib ‘alaihissalam: Î وَ مَآأُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَآأَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلاَّ اْلإِصْـلاَحَ Ï “Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan.” (QS. Huud: 88) Tanya Ibnu Abbas lagi, “Dan apakah engkau telah mengerjakan hal itu dengan sempurna?” Ia pun menjawab, “Belum.” Maka Ibnu Abbas berkata: “Mulailah dari dirimu sendiri.” (HR. Ibnu Mardawaih dalam tafsirnya).
Sumber: Diadaptasi dari Tafsir Ibnu Katsir, penyusun Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ishak Ali As-Syeikh, penterjemah Ust. Farid Ahmad Okbah, MA, dkk. (Pustaka Imam As-Syafi’i)

0 komentar