Teori dan Genre Karya Sastra


Pengetahuan mengenai teori dan genre karya sastra merupakan salah satu kompetensi yang penting untuk dikuasai. Pada tulisan ini Kita akan membahas teori yang umum dianut mengenai pengertian karya sastra, serta penggolongan karya sastra dalam bahasa Indonesia.
Berdasarkan jenisnya, sastra dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yakni sastra imajinatif dan non-imajinatif. Dalam penggunaan bahasa sastra imajinatif lebih menekankan penggunaan bahasa konotatif (banyak arti) dibandingkan dengan sastra nonimajinatif yang lebih menekankan pada penggunaan bahasa denotatif (tunggal arti). (Jakob Sumardjo & Saini K.M, 1988: 17).
Ciri sastra imajinatif:
  • bersifat khayali,
  • menggunakan bahasa yang konotatif dan 
  • memenuhi syarat-syarat estetika seni.  

 Ciri sastra non-imajinaf: 
  • lebih banyak unsur faktualnya daripada khayalinya, 
  • menggunakan bahasa yang cenderung denotatif, dan
  •  memenuhi syarat-syarat estetika seni.


Berdasarkan ragam atau genrenya sastra dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk yaitu: (1) prosa; (2) puisi; (3) drama. Peredaan sederhana antar ketiga genre sastra tersebut adalah sebagi berikut:

Puisi
Puisi adalah ungkapan imajinatif yang dirangkai dengan irama dan memerhatikan pemaknaan. Secara etimoligis puisi berasal dari bahasa Yunani poio yang artinya ‘aku mencipta’.
Ciri khas puisi yang paling menonjol adalah tipografinya, seketika ketika melihat sebuah teks yang larik-lariknya tidak sampai ke tepi halaman kita mengandaikan teks tersebut adalah puisi. (Dick Hartoko, 1982: 175).
Banyak orang menganggap puisi adalah bentuk sastra yang paling terikat seperti dalam pantun atau syair. Akan tetapi, lepas dari hal tersebut puisi telah mengalami perkembangan yang pesat. Puisi telah mengalami pemutakhiran dalam bentuk dan aturannya. Bila dulu puisi begitu terikat dengan bentuk, sekarang ini puisi telah menemukan kebebasan dan tak memiliki aturan yang terlalu baku. Beberapa puisi bahkan ada yang memakai bentuk prosa.

Prosa
Untuk mempertegas keberadaan prosa, ia sering disandingkan dengan genre lain misalnya puisi, meski sandingan tersebut hanya bersifat teoretis. Dalam unsur bahasa misalnya ada bahasa puisi yang mirip dengan bahasa prosa, di samping juga bahasa prosa yang puitis.
Istilah prosa menurut Nurgiyantoro (2013: 1) dapat menyaran pada pengertian yang lebih luas. Ia mencakup berbagai karya tulis yang ditulis dalam bentuk prosa, bukan puisi atau drama, tiap baris dimulai dari margin kiri penuh sampai ke margin kanan. Bisa dikatakan prosa dalam pengertian ini tidak hanya karya sastra, tetapi juga karya nonfiksi termasuk di dalamnya penulisan berita dalam surat kabar. Prosa sebagai karya sastra sebagaimana dijelaskan oleh Abrams (1999:94 Via Nurgiyantoro, 2013: 2) merujuk pada fiksi (fiction), teks naratif atau wacana naratif (dalam pendekataan struktural dan semiotik). Istilah fiksi ini diartikan sebagai cerita rekaan atau khayalan, tidak menyaran pada kejadian faktual atau sesuatu  yang benar-benar terjadi.
Fiksi merujuk pada prosa naratif yang dalam hal ini novel dan cerpen, bahkan fiksi sendiri bisa jadi sering disebut sebagai novel. Novel sebagai sebuah fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif yang dibangun melalui berbagai unsur instriksiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dll, yang kesemuanya bersifat imajinatif. Namun, juga perlu dicatat juga bahwa dalam dunia sastra terdapat juga karya sastra yang mendasarkan diri pada fakta. Karya seperti inilah yang oleh Abrams (1999:94 via Nurgiyantoro, 2013: 5) sebagai fiksi historis, sebagai contoh novel "Surapati"dan "Robert Anak Suropati" karya Abdul Muis dapat disebut sebagai novel historis.
Dunia fiksi lebih banyak mengandung berbagai kemungkinan daripada dunia nyata. Hal itu wajar terjadi

Drama
Kata drama berasal dari bahasa Yunani yang mempunyai arti dialog dalam bentuk prosa atau puisi dengan keterangan laku. Unsur-unsur yang paling penting dalam drama untuk dapat dipentaskan adalah sebagai berikut:
  • Naskah lakon, berguna untuk menetapkan urutan adegan dan dialog yang ada di dalam drama.
  • Sutradara, yakni orang yang mengatur dan mengonsep drama yang akan dimainkan.
  • Pemain yakni orang yang memainkan peran di panggung.

Drama di Indonesia berkembang pada masa drama tradisonal dan modern. Sebelum drama moderen dikenal di Indonesia, drama tradisonal sudah lebih dahulu berkembang di tanah air. Drama tardisonal dipergunakan dengan merujuk pada pakem-pakem yang berlaku dan dipertahankan secara turun menurun sesuai dengan keasliannya. Setiap drama tradisional memiliki aturan atau pakem yang berbeda seperti ludruk di Jawa Timur misalnya merupakan drama tradisional yang mengutamakan humor dan komedi. Hingga kini ludruk pun tetap bertahan pada aturan ini. Contoh bentuk drama trasdional lainnya adalah: Ketoprak dari Jawa Tengah, Ubrug dari Banten, Longser dari Jawa Barat, Mamanda dari Kalimantan Selatan, dan Lenong dari Betawi.

Dalam situasi bahasa tersebut terdapat dialog yang terdiri atas unit-unit dialog., Unit-unit dialog tersebut disebut juga "giliran bicara" yang akan diucapkan oleh tokoh. Sebuah dialog setidaknya terdiri atas dua giliran bicara yang didukung oleh sekurang-kurangnya dua pelaku; bahan pembicaraan tak boleh berubah. Konvensi tersebut merupakan konvensi ideal. Namun, bila konvensi yang ideal ini diganggu karena pelaku angkat bicara dengan tak teratur atau tak membicarakan bahan yang sama tak mungkin akan terbentuk "dialog" dan alur cerita yang dimaksudkan. Pelaku drama akan berdialog dalam ruang dan waktu yang sama., Keadaan tersebut dalam drama disebut "latar" bagi sebuah dialog.

Sumber:
Modul Pelatihan SD Kelas Tinggi (Guru Pembelajar), Kelompok  Kompetensi A (Profesional)- Kajian Materi Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Dasar
Direktorat Jendral Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2016

0 komentar