Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah 58-60


وَإِذْ قُلْنَا ادْخُلُواْ هَـذِهِ الْقَرْيَةَ فَكُلُواْ مِنْهَا حَيْثُ شِئْتُمْ رَغَداً وَادْخُلُواْ الْبَابَ سُجَّداً وَقُولُواْ حِطَّةٌ نَّغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ وَسَنَزِيدُ الْمُحْسِنِينَ , فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُواْ قَوْلاً غَيْرَ الَّذِي قِيلَ لَهُمْ فَأَنزَلْنَا عَلَى الَّذِينَ ظَلَمُواْ رِجْزاً مِّنَ السَّمَاء بِمَا كَانُواْ يَفْسُقُونَ
Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: “Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak di mana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya dengan bersujud, dan katakanlah: “Bebaskanlah kami dari dosa”, niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu. Dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. 2:58) Lalu orang-orang yang zhalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang zhalim itu siksaan dari langit, karena mereka berbuat fasik. (QS. 2:59)
Dalam rangka mencela mereka, karena mereka menolak untuk berjihad dan memasuki Tanah Suci (Baitul Maqdis) ketika mereka tiba dari Mesir bersama Musa ‘alaihissalam. Allah memerintahkan mereka untuk memasuki Tanah Suci yang merupakan warisan mereka dari nenek moyang mereka, Israil (Ya’qub). Juga untuk memerangi kaum Amalik yang kafir, namun mereka menolak berperang, dan bersikap lemah dan lesu. Maka Allah Ta’ala mencampakkan mereka ke tengah padang sahara yang menyesatkan sebagai hukuman bagi mereka. Sebagaimana disebutkan Allah Ta’ala dalam surat al-Maidah.
Oleh karena itu di antara dua pendapat mengenai hal itu yang paling tepat adalah pendapat yang menyatakan negeri itu adalah Baitul Maqdis, sebagaimana yang telah dinashkan oleh as-Suddi, Rabi’ bin Anas, Qatadah, Abu Muslim al-Isfahani, dan lain-lainnya. Berkisah mengenai Musa ‘alaihissalam, Allah berfirman: Î يَاقَوْمِ ادْخُلُوا اْلأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَلاَ تَرْتَدُّوا Ï “Wahai kaumku, masuklah kamu ke Tanah suci yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang.” (QS. Al-Maidah: 21)
Yang benar adalah pendapat yang menyatakan bahwa negeri tersebut adalah Baitul Maqdis.
Peristiwa ini terjadi setelah mereka berhasil keluar dari padang pasir, di mana mereka sempat mendekam selama 40 tahun bersama Yusya’ bin Nun. Kemudian Allah membukakan negeri itu bagi mereka pada sore hari Jum’at. Pada hari itu perjalanan matahari ditahan sebentar (oleh Allah) hingga akhir-nya mereka mendapatkan kemenangan, dan setelah mereka mendapatkan kemenangan, Allah U memerintahkan mereka memasuki pintu negeri itu (Baitul Maqdis) sambil Î سُـجَّدًا Ï bersujud. Maksudnya, sebagai pernyataan syukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat yang telah diberikan kepada mereka, berupa kemenangan, pertolongan dan pengembalian negeri mereka, serta di-selamatkannya mereka dari padang pasir dan dari tersesat (di dalamnya).
Dalam tafsirnya, al-Aufi meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, katanya: Firman Allah, Î وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا Ï“Masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud,” artinya, “Sambil ruku”.
Mengenai firman-Nya, Î وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا Ï “Masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud,” dari Ibnu Abbas, Ibnu Jarir mengatakan, sambil ruku’ dari pintu kecil. Demikian diriwayatkan al-Hakim dari Sufyan. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Sufyan ats-Tsauri, dengan tambahan “Maka mereka masuk dengan membelakangi (mundur) dari arah pantat mereka.”
Khashif meriwayatkan dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, katanya: “Pintu tersebut menghadap ke arah kiblat.” Ibnu Abbas, Mujahid, asl-Suddi, Qatadah, dan adh-Dhahhak mengatakan, pintu Hittha termasuk pintu Elia Baitul Maqdis.
As-Suddi meriwayatkan dari Sa’id al-Azadi, dari Abu Kanud, dari Abdullah bin Mas’ud, dikatakan kepada mereka, “Masukilah pintu gerbangnya sembari bersujud.” Maka mereka pun masuk dengan mengangkat kepala mereka, yang jelas itu bertentangan dengan apa yang diperintahkan kepada mereka.
Firman-Nya, Î وَقُـولُوا حِطَّةٌ Ï “Katakanlah, bebaskanlah kami dari dosa.” Sufyan ats-Tsauri mengatakan: “Artinya, memohonlah ampunan.” Hal senada juga diriwayatkan dari Atha’, Hasan al-Bashri, Qatadah dan ar-Rabi’ bin Anas.
Mengenai firman-Nya itu pula adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan: “Katakanlah hal ini adalah hak sebagaimana yang dikatakan kepada kalian.” Sedang Ikrimah mengatakan: “Katakanlah ( لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ ) “tiada Ilah yang hak selain Allah”.
Dan Qatadah mengatakan: “Hal itu berarti, “Hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami Î نَّغْفِـر لَكُمْ خَـطَايَاكُمْ وَ سَـنَزِيدُ الْمُحْسِنِينَ Ï. Niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu. Dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang bebuat baik.” Ini merupakan jawaban atas perintah sebelumnya. Artinya, jika kalian mengerjakan apa yang Kami perintahkan, maka Kami pun akan mengampuni kesalahan-kesalahan kalian dan kami lipat-gandakan kebaikan atas kalian.”
Intinya, mereka diperintahkan untuk tunduk kepada Allah Ta’ala ketika memperoleh kemenangan, baik berupa perbuatan maupun ucapan. Selain itu hendaklah mereka mengakui dosa-dosa yang telah diperbuatnya, memohon ampunan atasnya, mensyukuri nikmat, serta bersegera melakukan semua perbuatan yang disukai Allah Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya:
Ïإِذَا جَآءَ نَصْـرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فيِ دِيـنِ اللَّهِ أَفْوَاجًا فَسَـبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَـانَ تَوَّابًا Î
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu menyaksikan manusia masuk agama Islam secara berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu serta memohonlah ampunan kepada-Nya. Sesungguh-nya Dia adalah Mahapenerima Taubat.” (QS. An-Nasr: 1-3)
Sebagian sahabat menafsirkannya dengan banyak berdzikir dan istighfar ketika mendapat pertolongan dan kemenangan. Sedangkan Ibnu Abbas menafsirkan, bahwa hal itu merupakan pemberitahuan tentang akhir ajal Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada beliau, dan hal itu dibenarkan oleh Umar bin Khaththab Radhiallahu ‘anhu.
Firman-Nya, Î فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُوا قَوْلاً غَيْرَ الَّذِي قِيلَ لَهُمْ Ï “Lalu orang-orang zhalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka.” Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
قِيْلَ لِبَنِى إِسْرَائِيْلَ اُدْخُلُوا الْبَابَ سُجَّداً وَقُوْلُوْا حِطَّةٌ- فَدَخَلُوْا يَزْحَفُوْنَ عَلَى أَسْتَاهِهِمْ فَبَدَّلُوْا وَقَالُوا حَبَّةٌ فِى شَعْرَةٍ.
“Dikatakan kepada Bani Israil, ‘Masukilah pintu gerbang sembari bersujud dan katakanlah, hiththah (bebaskanlah kami dari dosa)’. Maka mereka pun memasuki pintu dengan berjalan merangkak di atas pantat mereka. Lalu mereka mengganti dan mengatakan, ‘Habbatun fi sya’ratin (biji-bijian di dalam gandum)’”. Hadits shahih ini diriwayatkan al-Bukhari, Muslim, dan at-Tirmidzi mengatakan, “hadits ini hasan shahih”.
Kesimpulan dari apa yang dikemukakan oleh para mufassirin dan berdasarkan pada konteks ayat tersebut adalah bahwa mereka mengganti perintah Allah Ta’ala untuk tunduk dengan ucapan maupun perbuatan. Ketika mereka diperintahkan untuk masuk sembari bersujud, namun mereka masuk sambil merangkak di atas pantat dan membelakangi dengan mengangkat kepala mereka. Mereka juga diperintahkan untuk mengatakan, “حِطَّةٌ (hapuskanlah semua dosa dan kesalahan kami).” Tetapi mereka malah mengolok-olok perintah tersebut, dan dengan nada mengolok mereka mengatakan, “حِنْطَةٌ فِـى شِعِيْـرَةٍ (biji-bijian dalam gandum).”
Hal ini merupakan puncak penolakan dan pengingkaran. Oleh karena itu Allah Ta’alamenurunkan kepada mereka azab dan siksaan-Nya, disebabkan kefasikan mereka yaitu keluarnya mereka dari ketaatan kepada-Nya. Dan karena itu, Dia berfirman, Î فَأَنزَلْنَا عَلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا رِجْزًا مِّنَ السَّمَآءِ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ Ï “Maka Kami timpakan atas orang-orang yang zhalim itu siksa dari langit karena mereka ber-buat fasik.”
Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya; setiap kata ar-rijzu yang terdapat di dalam al-Qur’an berarti azab.
Sedangkan Abu al-Aliyah berpendapat, “الرِّجْزُ” berarti “الْغَضَبُ” (marah, murka).
Dan asy-Sya’bi mengatakan, “الرِّجْـزُ” bisa berarti “الطَّاعُونُ” (wabah) dan bisa juga “الْبَـرْدُ” (hawa dingin).
Ibnu Jarir meriwayatkan, dari Usamah bin Zaid, dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِنَّ هَذَا الْوَجَعَ وَلسَّقَمَ رَجْزٌ عُذِّبَ بِهِ بَعْضُ اْلأُمَمِ قَبْلَكُمْ.
“Sesungguhnya penyakit dan penderitaan ini adalah rijzu (adzab) yang ditimpa-kan kepada sebagian umat sebelum kalian.” Hadits ini asalnya diriwayatkan di dalam kitab Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Muslim).
وَإِذِ اسْتَسْقَى مُوسَى لِقَوْمِهِ فَقُلْنَا اضْرِب بِّعَصَاكَ الْحَجَرَ فَانفَجَرَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْناً قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَّشْرَبَهُمْ كُلُواْ وَاشْرَبُواْ مِن رِّزْقِ اللَّهِ وَلاَ تَعْثَوْاْ فِي الأَرْضِ مُفْسِدِينَ
Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami ber-firman: “Pukullah batu itu dengan tongkatmu”. Lalu memancarlah dari-padanya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rizki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan. (QS. 2:60)
Allah Ta’ala berfirman kepada Bani Israil, “Ingatlah nikmat yang telah Aku anugerahkan, yaitu berupa pengabulan permintaan bagi Nabi kalian Musa ‘alaihissalam ketika ia minta air kepada-Ku untuk kalian semua. Maka Aku pun segera mempermudah dan mengeluarkan air bagi kalian dari sebuah batu yang dibawa bersama kalian serta Aku pancarkan dari batu tersebut dua belas mata air. Setiap suku yang ada pada kalian (Bani Israil) memiliki mata air yang sudah diketahuinya.”
Karena itu, “Makanlah makanan dari manna dan salwa minumlah dari air yang telah Aku pancarkan bagi kalian tanpa adanya usaha dan kerja keras dari kalian, serta beribadahlah kepada Rabb yang telah menciptakan semuanya itu untuk kalian”.
Firman-Nya, Î وَلاَ تَعْثَوْا فيِ اْلأَرْضِ مُفْسِدِينَ Ï “Dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.” Artinya, janganlah kalian balas berbagai nikmat itu dengan kemaksiatan, sebab dengan begitu nikmat tersebut akan dicabut dari kalian.
Kisah ini hampir sama dengan kisah yang terdapat dalam surat al-A’raf, tetapi surat tersebut turun di Makkah. Oleh karena itu, pemberitaan mengenai diri mereka menggunakan dhamir(kata ganti) orang ketiga. Yang demikian itu karena Allah Ta’ala menceritakan kepada Rasul-Nya, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengenai apa yang Allah lakukan terhadap mereka. Sedangkan apa yang terdapat dalam surat (al-Baqarah ini), adalah turun di Madinah. Untuk itu sasaran dari pem-bicaraan dalam ayat tersebut ditujukan kepada mereka, dan Dia memberitahu-kan melalui firman-Nya, Î فَانْبَجَسَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا Ï “Maka berpancarlah dari dua belas mata air.” (QS. Al-A’raaf: 160)
Inbajasat maksudnya pancaran mata air yang pertama kali. Sedang di sini diberitakan di akhir situasinya yaitu infijar, maka tepatlah dengan penyebutan infijar (pemancaran air) pada ayat ini, dan permulaan pemancaran air pada ayat lain. Wallahu a’lam.
Di antara kedua siyaq (konteks) tersebut terdapat perbedaan dari sepuluh segi, baik secaralafziyah maupun maknawiyah. Dalam tafsirnya, al-Zamakhsyari telah mengajukan pertanyaan mengenai hal itu dan dia kemukakan sendiri jawabannya, dan jawaban tersebut mendekati (kebenaran). Wallahu a’lam.
Sumber: Diadaptasi dari Tafsir Ibnu Katsir, penyusun Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ishak Ali As-Syeikh, penterjemah Ust. Farid Ahmad Okbah, MA, dkk. (Pustaka Imam As-Syafi’i)

0 komentar