Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah 111 , 112 , 113 , 114


وَقَالُواْ لَن يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَن كَانَ هُوداً أَوْ نَصَارَى تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ قُلْ هَاتُواْ بُرْهَانَكُمْ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ , بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ , وَقَالَتِ الْيَهُودُ لَيْسَتِ النَّصَارَى عَلَىَ شَيْءٍ وَقَالَتِ النَّصَارَى لَيْسَتِ الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ كَذَلِكَ قَالَ الَّذِينَ , لاَ يَعْلَمُونَ مِثْلَ قَوْلِهِمْ فَاللّهُ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُواْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nasrani”. Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjuk-kan kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang yang benar”. (QS. 2:111) (Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Rabb-nya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. 2:112) Dan orang-orang Yahudi berkata: “Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan”, dan orang-orang Nasrani berkata: “Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan”, padahal mereka (sama-sama) membaca al-Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak me-ngetahui, mengucapkan seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan meng-adili di antara mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka ber-selisih padanya. (QS. 2:113)
Allah Ta’ala menjelaskan ketertipuan orang-orang Yahudi dan Nasrani oleh apa yang ada pada diri mereka, dimana setiap kelompok dari keduanya (Yahudi dan Nasrani) mengaku bahwasanya tidak akan ada yang masuk surga kecuali mereka yang memeluk agama kelompok tersebut, sebagaimana yang diberitahukan Allah Tabaraka wa Ta’ala melalui firman-Nya dalam surat al-Maidah berikut ini, mereka menyatakan, Î نَحْـنُ أَبْنَاؤُا اللهِ وَ أَحِبَّاؤُهُ Ï “Kami anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” (QS. Al-Maidah: 18)
Kemudian Allah Ta’ala mendustakan pengakuan mereka itu melalui pemberitahuan yang disampaikan dalam firman-Nya bahwa Dia akan mengadzab mereka akibat dosa yang mereka perbuat. Seandainya mereka adalah se-perti apa yang mereka aku, niscaya keadaannya tidak demikian. Sebagaimana pengakuan mereka sebelumnya yang menyatakan bahwa mereka tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali beberapa hari saja. Kemudian mereka masuk ke surga. Tetapi pengakuan mereka yang ini pun mendapat bantahan dari Allah Ta’ala. Berikut ini adalah bantahan Allah Ta’ala berkenaan dengan pengakuan mereka yang tidak berdasarkan dalil, hujjah, dan keterangan yang jelas, di mana Dia berfirman, Î تِلْكَ أَمَانِّيُّهُمْ Ï “Itulah angan-angan mereka.” Abul ‘Aliyah mengata-kan: “Artinya, yaitu angan-angan yang mereka dambakan dari Allah tanpa alasan yang benar.” Hal senada juga dikemukakan oleh Qatadah dan ar-Rabi’ bin Anas.
Selanjutnya Allah Ta’ala berfirman, Î قُـلْ Ï “Katakan,” hai Muhammad, Î هَـاتُوا بُرْهَانَكُـمْ Ï “Kemukakanlah penjelasan kalian.” Abul ‘Aliyah, Mujahid, as-Suddi, dan ar-Rab’i bin Anas mengatakan, “(Artinya) kemukakanlah hujjah kalian.” Sedangkan Qatadah mengatakan, “Berikanlah keterangan kalian mengenai pengakuan kalian itu, Î إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ Ï “Jika kalian orang-orang yang benar, dalam pengakuan kalian itu.”
Setelah itu Allah Ta’ala berfirman, Î بَلَـى مَنْ أَسْـلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ Ï “Bahkan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang ia berbuat baik.” Maksudnya, barangsiapa yang mengikhlaskan amalnya hanya untuk Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya.
Berkaitan dengan firman-Nya, Î بَلَـى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ Ï “Bahkan barang-siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah,” Abu al-Aliyah dan ar-Rabi’ bin Anas mengatakan, Î بَلَى مَنْ أَسْلَمَ Ï “(Yaitu), barangsiapa yang benar-benar tulus karena Allah.”
Masih berkenaan dengan ayat tersebut, Î وَجْهَهُÏ “Dirinya.” Sa’id bin Jubair mengatakan, yaitu yang tulus ikhlas menyerahkan “agamanya” sedang Î وَهُوَ مُحْسِنٌ Ï “Ia berbuat baik,” artinya, mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Karena amal perbuatan yang diterima itu harus memenuhi dua syarat, salah satunya harus didasarkan pada ketulusan karena AllahTa’ala semata, dan syarat kedua, harus benar dan sejalan dengan syari’at Allah. Jika suatu amalan itu sudah didasarkan pada keikhlasan hanya karena Allah, tetapi tidak benar dan tidak sesuai dengan syariat, maka amalan tersebut tidak diterima. Oleh karena itu, RasulullahShalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa mengerjakan suatu amal yang tidak sejalan dengan perintah kami, maka amal itu tertolak.” (HR. Imam Muslim, dari hadits ‘Aisyah رضي الله عنها).
Dengan demikian, perbuatan para pendeta ahli ibadah dan yang semisalnya, meskipun mereka itu sangat tulus ikhlas dalam mengerjakannya karena Allah, namun perbuatan mereka itu tidak diterima sehinga mereka mengikuti ajaran Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang diutus kepada mereka dan kepada seluruh umat manusia. Mengenai mereka dan orang yang semisalnya, Allah Ta’ala berfirman: Î وَقَدِمْنَآ إِلَـى مَاعَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَآءً مَّنثُورًا Ï “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu bagaikan debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
Sedangkan amal yang secara lahiriyah sejalan dengan syariat tetapi pelakunya tidak mendasarinya dengan tulus ikhlas karena Allah Ta’ala, maka amal perbuatan seperti itu ditolak. Demikian itulah keadaan orang-orang yang riya dan orang-orang munafik, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Î فَوَيْلُُ لِّلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلاَتِهِمْ سَاهُونَ الَّذِينَ هُمْ يُـرَآءُونَ وَيَمْنَعُـونَ الْمَـاعُونَ Ï “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalat-nya, orang-orang yang berbuat riya’ dan enggan menolong dengan barang berguna.” (QS. Al-Maa’un: 4-7)
Oleh karena itu, Dia berfirman:
Î فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا Ï “Barangsiapa meng-harap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Dalam surat al-Baqarah ini, Allah Ta’ala berfirman:
Î بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ Ï “(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan.”
Dan firman-Nya: Î فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَ لاَ خَوْفٌ عَلَيْـهِمْ وَ لاَهُمْ يَحْـزَنُوْنَ Ï “Maka baginya pahala pada sisi Rabb-nya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” Dengan amal perbuatan itu, Allah Ta’ala menjamin sampainya pahala kepada mereka serta memberikan rasa aman dari hal-hal yang mereka khawatirkan. Î وَ لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ Ï “Dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka,” dari apa yang akan mereka hadapi, Î وَلاَهُمْ يَحْزَنُونَ Ï “Dan tidak pula mereka bersedih hati,” atas apa yang telah ditinggalkan di masa yang lalu. Sebagaimana yang dikatakan Sa’id bin Jubair, Î وَ لاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ Ï “Dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka,” yaitu di akhirat kelak, Î وَلاَهُـمْ يَحْزَنُونَ Ï “Dan tidak pula mereka bersedih hati,” atas datangnya kematian.
Dan firman Allah Ta’ala:
Î وَقَالَتِ الْيَهُودُ لَيْسَتِ النَّصَارَى عَلَى شَيْءٍ وَقَالَتِ النَّصَارَى لَيْسَتِ الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ Ï “Dan orang-orang Yahudi berkata: ‘Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan.’ Dan orang-orang Nasrani berkata: ‘Orang-orang Yahudi itu tidak mempunyai suatu pegangan.’ Padahal mereka (sama-sama) membaca al-Kitab.” Allah Ta’ala menjelaskan mengenai pertentangan, kebencian, permusuhan, dan keingkaran di antara orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani.
Sebagaimana yang diriwayatkan Muhammad bin Ishak, dari Ibnu Abbas, ia menceritakan ketika orang-orang Nasrani Najran menghadap Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, datang pula kepada mereka para pendeta Yahudi. Lalu mereka saling berselisih di hadapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rafi’ bin Harmalah (salah seorang pendeta Yahudi) mengatakan, “Kalian tidak memiliki pegangan apapun, dan mengingkari Isa dan Injil.” Lalu salah seorang dari orang-orang Nasrani Najran itu berkata kepada orang-orang Yahudi, “Kalian tidak memiliki pegangan sesuatu apapun, dan mengingkari kenabian Musa dan kufur terhadap Taurat.” Berkenaan dengan hal itu, Allah Ta’ala berfirman:
Î وَقَالَتِ الْيَهُودُ لَيْسَتِ النَّصَارَى عَلَى شَيْءٍ وَقَالَتِ النَّصَارَى لَيْسَتِ الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ Ï “Dan orang-orang Yahudi berkata: ‘Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan.’ Dan orang-orang Nasrani berkata: ‘Orang-orang Yahudi itu tidak mempunyai suatu pegangan.’ Padahal mereka (sama-sama) membaca al-Kitab.” Kemudian Ibnu Abbas berkata: “Masing-masing kelompok itu membaca dalam kitabnya sesuatu yang membenarkan orang yang mereka ingkari. Orang-orang Yahudi kufur terhadap Isa padahal di tangan mereka terdapat kitab Taurat yang di dalamnya Allah Ta’ala telah mengambil janji melalui lisan Musa ‘alaihissalamuntuk membenarkan Isa. Sedangkan dalam kitab Injil yang dibawa Isa terdapat perintah untuk membenarkan Musa dan kitab Taurat yang diturunkan dari sisi Allah. Masing-masing kelompok mengingkari kitab yang ada di tangan mereka sendiri. Mereka itu Ahlul Kitab yang hidup pada zaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Pernyataan di atas mengandung pengertian bahwa masing-masing dari kedua kelompok membenarkan dalam apa yang mereka tuduh oleh kelompok lain. Namun secara lahiriyah redaksi ayat di atas mengandung celaan terhadap apa yang mereka ucapkan, padahal mereka mengetahui kebalikan dari apa yang mereka kemukakan tersebut. Oleh karena itu Allah Ta’alaberfirman, Î وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ Ï “Padahal mereka (sama-sama) membaca al-Kitab.” Maksudnya, mereka mengetahui syariat Taurat dan Injil. Kedua kitab tersebut telah disyariatkan pada waktu tertentu, tetapi mereka saling mengingkari karena membangkang dan kufur serta menghadapkan suatu kebatilan dengan kebatilan yang lain. Wallahu a’lam.
Firman Allah Ta’ala, Î كَذَلِكَ قَالَ الَّذِيـنَ لاَ يَعْلَمُونَ مِثْلَ قَوْلِهِـمْ Ï “Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti ucapan mereka itu.” Dengan ini Allah menjelaskan kebodohan orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka saling melempar ucapan. Dan ini adalah ucapan yang bernada isyarat.
Para ulama masih berbeda pendapat mengenai siapa yang dimaksudkan dalam firman AllahTa’ala, Î الَّذِيـنَ لاَ يَعْلَمُونَ Ï “Orang-orang yang tidak mengetahui.” Mengenai ayat ini, ar-Rabi’ bin Anas dan Qatadah mengatakan: “Orang-orang Nasrani mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan orang-orang Yahudi.”
Masih mengenai firman-Nya, Î كَذَلِكَ قَالَ الَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ Ï “Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui,” as-Suddi mengatakan, “Mereka itu adalah orang-orang Arab yang mengatakan bahwa Muhammad itu tidak memiliki pegangan apapun.”
Sedangkan Abu Ja’far bin Jarir berpendapat bahwa hal itu bersifat umum berlaku bagi semua umat manusia. Dan tidak ada dalil pasti yang menetapkan salah satu dari beberapa pendapat tersebut. Maka membawa makna untuk semua pendapat di atas adalah lebih tepat. Wallahu a’lam.
Firman Allah Ta’ala, Î فَاللهُ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ يَـوْمَ الْقِيَامَةِ فِيـمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُـونَ Ï “Maka Allah akan mengadili di antara mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka berselisih padanya.”Artinya, Allah Ta’ala mengumpulkan mereka pada hari kiamat kelak serta memutuskan hukum di antara mereka melalui keputusan-Nya yang adil yang tidak ada kezhaliman dan tidak akan dizhalimi sedikit pun meskipun sekecil apapun.
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن مَّنَعَ مَسَاجِدَ اللّهِ أَن يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فِي خَرَابِهَا أُوْلَـئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَن يَدْخُلُوهَا إِلاَّ خَآئِفِينَ لهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk me-robohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehina-an dan di akhirat mendapat siksa yang berat. (QS. 2:114)
Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai siapakah yang dimaksud dengan orang yang menghalangi masuk masjid Allah dan berusaha merusaknya.
Terdapat dua pendapat berkenaan dengan hal tersebut:
Pendapat pertama, apa yang diriwayatkan al-Aufi dalam tafsirnya dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah Ta’ala, Î وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن مَّنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أّنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ Ï “Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya.” Ia mengatakan: “Yaitu orang-orang Nasrani.” Juga Mujahid mengemukakan: “Mereka itu adalah orang-orang Nasrani. Mereka membuang berbagai kotoran ke Baitul Maqdis dan menghalangi orang-orang agar tidak mengerjakan shalat di dalamnya.”
Sa’id meriwayatkan dari Qatadah, ia menuturkan: “Mereka itu adalah orang-orang Nasrani, yang merupakan musuh Allah, yang karena kebencian-nya kepada orang-orang Yahudi menjadikan mereka membantu Bukhtannashr penguasa Babilonia, penganut agama Majusi, untuk merobohkan Baitul Maqdis.”
Pendapat kedua, apa yang diriwayatkan Ibnu jarir mengenai firman Allah Ta’ala, Î وَ مَنْ أَظْلَمُ مِمَّن مَّنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أّنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فـيِ خَرَابِهَا Ï “Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya?” Ibnu Zaid mengatakan: “Mereka itu adalah orang-orang musyrik yang menghalangi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabatnya untuk masuk ke dalam kota Makkah pada saat terjadinya peristiwa Hudaibiyah sehingga beliau menyembelih kurbannya di Dzi Thuwa dan mengajak mereka berdamai. Dan RasulullahShalallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka:
مَاكَانَ أَحَدٌ يَصُدُّ عَنْ هَذَا الْبَيْتِ، وَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يَلْقَى قَاتِلَ أَبِيْهِ وَ أَخِيْهِ فَلاَ يَهُدُّهُ.
“Tidak ada seorang pun yang boleh menghalang-halangi dari Baitullah ini. Dulu, seseorang dapat bertemu dengan pembunuh ayahnya dan saudaranya, dan ia tidak menghalanginya.”
Maka mereka menjawab: “Pembunuh ayah-ayah kami pada perang Badar tidak boleh masuk ke kawasan kami, sedang kami masih ada di sini.”
Sedang mengenai firman Allah, Tabaraka wa Ta’ala, Î وَسَعَى فيِ خَرَابِهَا Ï “Dan berusaha untuk merobohkannya?” Ibnu Zaid mengatakan, “Mereka itu menghadang orang-orang yang hendak memakmurkan masjid dengan berdzikir kepada-Nya dan mendatanginya untuk menuaikan haji dan umrah.”
Karena itu, Allah Ta’ala berfirman:
Î إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللهِ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَءَاتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللهَ Ï “Hanya orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid Allah yang beriman ke-pada Allah dan hari akhir, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah.” (QS. At-Taubah: 18)
Yang dimaksud dengan memakmurkan masjid itu bukan hanya sekedar menghiasi dan membangun fisiknya saja, tetapi juga dengan berdzikir kepada Allah di dalamnya, menegakkan syari’at-Nya, serta menjauhkannya dari najis dan syirik.
Dan firman-Nya, Î أُوْلُئِكَ مَاكَانَ لَهُمْ أَن يَدْخُلُوهَا إِلاَّ خَآئِفِينَ Ï “Mereka itu tidak sepatutnya memasukinya kecuali dengan rasa takut (kepada Allah).” Ayat tersebut berbentuk berita tetapi bermakna perintah. Artinya, “Jangan kalian perkenankan mereka memasuki masjid jika kalian mampu menguasai mereka, kecuali setelah ada perdamaian dan pembayaran jizyah. Oleh karena itu, setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berhasil membebaskan kota Makkah pada tahun berikutnya, yaitu pada tahun 9 H beliau langsung berseru di tanah lapang di Mina:
أَلاَ، لاَ يَحُجَّنَّ بَعْدَ العَامِ مُشْـرِكٌ، وَ لاَ يَطُوْفَنَّ بِالْبَيْـتِ عُرْيَانٌ، وَ مَنْ كَـانَ لَهُ أَجَلٌ فَأَجَلُهُ إِلَـى مُدَّتِهِ.
“Ketahuilah, setelah tahun ini, tidak diperbolehkan seorang musyrik pun menunaikan ibadah haji dan mengerjakan thawaf dalam kedaan telanjang. Barangsiapa yang masih mempunyai masa tinggal, maka pengukuhannya itu berakhir sampai habis masanya.”
Yang demikian itu tidak lain untuk menghormati lingkungan Masjidil-haram dan menyucikan negeri yang padanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada umat manusia secara keseluruhan untuk menyampaikan berita gembira sekaligus juga peringatan. Itulah penghinaan bagi mereka di dunia, karena balasan itu sesuai dengan amal perbuatan. Sebagaimana mereka telah menghalangi orang-orang mukmin dari Masjidilharam, maka mereka pun dihalangi darinya. Dan sebagai-mana mereka telah mengusir orang-orang mukmin dari Makkah, maka mereka pun diusir darinya.
Firman-Nya, Î وَلَهُمْ فـيِ اْلأَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ Ï “Dan bagi meraka adzab yang besar di akhirat,” karena mereka telah menginjak-injak kehormatan Masjidil-haram dan menghinakannya dengan menempatkan berhala-berhala di sekitarnya, berdo’a kepada selain Allah di dalamnya, serta mengerjakan thawaf di sana dalam keadaan telanjang, dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dibenci Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.
Sedangkan ulama yang menafsirkan sebagai Baitulmaqdis, maka Ka’ab al-Ahbar mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang Nasrani itu ketika berhasil mengusai Baitulmaqdis, maka mereka merobohkannya.” Dan setelah Allah Ta’ala mengutus Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, Dia pun menurunkan ayat:
Ï وَ مَنْ أَظْلَمُ مِمَّن مَّنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أّنْ يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَى فـيِ خَرَابِهَا أُوْلُئِكَ مَاكَانَ لَهُمْ أَن يَدْخُلُوهَا إِلاَّ خَآئِفِيـنَ Î
“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya memasukinya kecuali dengan rasa takut (kepada Allah).”
Oleh karena itu, tidak ada di muka bumi ini seorang Nasrani pun yang berani masuk Baitulmaqdis kecuali dalam keadaan takut. As-Suddi mengatakan: “Sekarang ini, tidak ada seorang Romawi pun di muka bumi ini yang berani memasuki Baitulmaqdis melainkan dalam keadaan takut dipenggal lehernya, atau ditakutkan dengan pembayaran jizyah yang harus dilaksanakannya.”
Menurut panafsiran as-Suddi, Ikrimah, dan Wa’il bin Dawud, kehinaan mereka di dunia itu akan benar-benar terwujud dengan munculnya Imam Mahdi. Sedangkan Qatadah menafsirkannya dengan pembayaran jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.
Yang benar bahwa kehinaan di dunia itu lebih umum dari semuanya itu. Dalam sebuah hadits disebutkan mengenai permohonan perlindungan dari kehinaan dunia dan adzab akhirat. Sebagaimana yang diriwayatkan Imam Ahmad, dari Bisyir bin Artha’ah, ia menceritakan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah memanjatkan do’a:
اَللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِـى اْلأُمُوُرِ كُلِّهَا، وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَ عَذَابِ اْلآخِرَةِ.
“Ya Allah, perbaikilah akhir dari segala urusan kami seluruhnya, serta jauhkanlah kami dari kehinaan dunia dan siksa akhirat.” (HR. Ahmad)
Hadits di atas berstatus sebagai hadits hasan, tetapi tidak terdapat dalam Kutubus Sittah. Dan Bisyir bin Artha’ah tidak pernah meriwayatkan hadits kecuali hadits ini dan satu lagi yaitu hadits: ( لاَ تُقْطَعُ اْلأَيْدِى فِـى الْـغَزْوِ ) “Tidak ada hukuman potong tangan didalam peperangan.”
Sumber: Diadaptasi dari Tafsir Ibnu Katsir, penyusun Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ishak Ali As-Syeikh, penterjemah Ust. Farid Ahmad Okbah, MA, dkk. (Pustaka Imam As-Syafi’i)

0 komentar