Pelaksanaan UN tinggal menghitung hari, berbagai persiapan sudah dilaksanakan sejak jauh-jauh hari, mulai dari ruangan, administrasi, dan yang paling penting "siswa".
Tidak dapat dipungkiri, perolehan nilai dalam UN masih menjadi tolak ukur kualitas sebuah lembaga pendidikan. Demikian juga Sekolah Dasar tempatku bekerja. Kalau dulu SD ku langganan predikat juru kunci, Alhamdulillah dua tahun terakhir ini ada perubahan yang cukup signifikan. Pada UN 2009/2010, kami bisa menempati peringkat ke-10 di kecamatan Gemawang, tahun 2010/2011 kami bahkan berhasil menduduki peringkat ke-2. Peringkat kecamatan Gemawang sendiri yang semula menduduki peringkat ke dua dari bawah di kabupaten Temanggung, pada tahun lalu berhasil melompat ke jajaran sepuluh besar.
Kini kami sudah dapat menegakkan kepala saat menjawab pertanyaan "dimana kami mengajar"
Peningkatan hasil UN yang sedrastis itu,, sayangnya belum diikuti perubahan pola pikir wali murid pada umumnya. Kesadaran mereka akan pentingnya pendidikan masih sangat rendah.
Kadang sempat berpikir betapa jerih payah kami begitu sia-sia. ....
Meskipun berhasil mengantongi nilai yang lumayan memuaskan, hanya sekitar 60 % lulusan SD kami yang melanjutkan ke SLTP, dan kalaupun melanjutkan ke SLTP, sering kali SLTP yang menjadi pilihan mereka adalah sekolah pinggiran yang kurang berkualitas.
Kalau dipikir-pikir, selain kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan, beberapa faktor seperti kondisi geografis dan faktor ekonomi sebenarnya juga mungkin cukup berpengaruh. SMP terdekat dari Lembujati( kampung di mana SD kami berdiri) berjarak 3-4 km yang harus ditempuh dengan berjalan kaki. Hingga saat ini belum ada angkutan umum yang melewati desa kami. Alhamdulillah jalan telah beraspal, namun jalan yang diaspal sekitar empat tahun lalu telah rusak di sana-sini. Padahal walaupun mulus beraspal, jarak sejauh itu pasti cukup melelahkan bagi anak-anak karena wilayah yang berbukit-bukit. Jika jalanan datar, mungkin anak bisa menggunakan sepeda untuk memperingan langkah. Tapi bagaiman bisa, sedangkan separoh jalan yang dilalui berupa turunan, separoh lagi berupa tanjakan, di beberapa bagian kecuraman tanjakan sekitar 30 derajad.
Belum lagi masalah finansian. Hampir semua orang tua/wali murid adalah petani kopi, yang hasil panennya hanya dapat dinikmati sekali dalam setahun. Jika luas kebun kopinya berhektar-hektar, mungkin tidak masalah. Tapi rata-rata lahan mereka kurang dari 0,5 hektar. Hasil panenpun tidak cukup untuk membayar jerih payah selama setahun. Dari semua siswa kelas 5 saja yang penghasilan orang tuanya mencapai 1 juta perbulan hanya satu anak. Bisa makan 3 kali sehari dengan lauk ikan asih saja sudah mewah bagi beberapa warga.
Jika warga bisa mengelola industri rumah tangga, mungkin bisa memperbaiki taraf ekonomi, namun sejauh ini sektor tersebut belum berkembang. Berdasarkan cerita warga setempat sebenarnya pernah ada pelatihan untuk industri rumah tangga, seperti pelatihan proses pembuatan emping melinjo plus pemberian alatnya, namun usaha tersebut terkendala pemasaran dan ketersediaaan bahan. Pendidikan yang rendah, dan minimnya pengalaman juga berpengaruh pada kurangnya kemampuan mereka dalam memenej usaha, sehingga usaha tersebut pupus di tengah jalan.
Apa yaaa yang bisa kulakukan untuk mereka, sejauh ini baru bisa mendengungkan semangat cita dan harapan....
Harapan dan cita-cita untuk sekolah setinggi mungkin....
Semoga .....
0 komentar